Pembiayaan KPR Syariah Ternyata Lebih Mahal Dari KPR Biasa

Pembiayaan KPR Syariah Ternyata Lebih Mahal Dari KPR Biasa

Bank syariah tengah disorot Dai Kondang Ustaz Yusuf Mansur dengan melontarkan kritik lewat media sosialnya. Yusuf Manyur mengatakan bahwa parktik pembiayaan bank syariah lebih mahal dibanding bank konvensional. Kritik ini dilontarkan Yusuf Mansur setelah mendapat aduan mahalnya cicilan pembiayaan syariah dari salah satu jamaahnya. Dalam keterangannya Ustaz Yusuf Mansyur menyebut pembiayaan dibank syariah Indonesia lebih mahal dibandingkan bank konvensional. “Ini baru permulaan karena saya mau buka mahalnya pembiayaan bank syariah dibandingkan konvensional biar masyarakat melek” kata dia. Hal ini dilakukan agar masyarakat mengetahui fakta di lapangan tentang mahalnya pembiayaan di bank syariah.

Praktik perbankan syariah disebut masih berbiaya tinggi dibandingkan dengan bisnis perbankan konvensional. Ustaz Yusuf Mansur menjelaskan hal ini membuat pembiayaan di bank syariah sulit dijangkau oleh masyarakat. Padahal seharusnya sebagai bank syariah bisa menyentuh masyarakat bawah. Dia akan buka-bukaan soal mahalnya biaya di bank syariah ini. Hal ini dilakukan agar masyarakat mengetahui fakta di lapangan. Yusuf Mansur menyebutkan sekarang sudah waktunya masyarakat mendapatkan pembiayaan yang murah dan bank syariah berpihak pada masyarakat. “Udah waktunya masyarakat dapat pembiayaan mudah dan ada keberpihakan juga, nggak jual-jual syariah dan ummat” jelas dia.

Yusuf Mansur memang sudah lama berkutat diindustri keuangan syariah. Misalnya saat BRI Syariah IPO, namun tak ada perhatian khusus dan biaya tetap mahal. Menurut dia, hal ini harus dihindari dan dunia syariah harus berpihak pada masyarakat. “Saya sudah malas jika dunia syariah tidak berubah, hanya karena sifatnya perjuangan ya bismillaah. Semoga saya juga bisa memperbaiki cara saya berjuang juga dunia syariah pada umumnya” tambah dia. Menurut Yusuf Mansur, sekarang dunia syariah sudah dimasuki pemodal asing sampai puluhan triliun. Dia mengharapkan, rakyat bisa diberi kesempatan seutuhnya.

“Carilah jalan, carilah regulasi, supaya rakyat bisa memiliki. Bukan sentimen saham ini mah, melainkan kesempatan kayak konglomerat asing membeli satu bank syariah, rakyat bisa” ujarnya. Gara gara pembiayaan mahal Ini pula, kata Yusuf Mansur, membuat pembiayaan di bank syariah sulit dijangkau masyarakat. Padahal menurutnya, pembiayaan syariah seharusnya menyentuh masyarakat dan hal tersebut menjadi pekerjaan besar bagi para pemimpinnya.

Di lihat dari sisi persyaratan kredit, dokumen dan proses kredit tidak ada perbedaan. Perbedaannya ada pada cara perhitungan kewajiban angsuran atau cicilan KPR setiap bulan.

KPR konvensional menetapkan sistem suku bunga umumnya bunga tetap dengan kisaran 3 – 4 persen di awal masa kredit selama 1 hingga paling lama 5 tahun selanjutnya mengikuti fluktuasi ekonomi (inflasi) sehingga besaran cicilan berubah setiap waktu tergantung besaran bunga. Namun ada juga KPR konvensional dengan sistem flat atau cicilan tetap selama masa kredit.

Direktur Utama PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) Hery Gunardi menjelaskan, perbedaan paling mendasar skema KPR syariah dan konvensional adalah dari prinsip akad yang digunakan. KPR Syariah mengadaptasi sistem jual beli atau akad murabahah yang sesuai dengan prinsip syariah. Dimana keuntungan yang ingin didapatkan oleh bank ditambahkan kedalam harga properti dan kemudian dibagi rata selama masa cicilan. “PT Bank Syariah Indonesia Tbk (BSI) sebagai bank syariah terbesar di Indonesia mempunyai berbagai pilihan produk KPR syariah di antaranya adalah Griya Hasanah (plus Mabrur), Griya Hijrah, Griya Refinancing, dan yang terbaru adalah Griya Simuda,” kata Hery Gunardi.

KPR konvensional maupun syariah memiliki keunggulan dan kelemahannya masing-masing. Dengan fixed rate di awal masa kredit dan selanjutnya floating besar cicilan pada KPR konvensional bisa berubah-ubah setiap saat yaitu bisa bertambah besar maupun bertambah kecil terutama sudah hampir selama 10 tahun belakangan ini suku bunga kredit acuan terus mengalami penurunan.

Berbeda dengan syariah yang menawarkan cicilan dengan jumlah tetap sampai kredit berakhir. Sehingga tidak ada kekhawatiran cicilan mendadak melonjak karena ketidakpastian suku bunga. Meski begitu, tidak tertutup kemungkinan pembiayaan KPR Syariah justru jatuhnya lebih mahal dibanding dengan KPR umum. Ini terutama terjadi pada tahun pertama kredit atau karena ada penurunan bunga KPR konvensional yang sangat drastis seperti yang terjad belakangan ini.

Direktur Syariah Banking CIMB Niaga Pandji P. Djajanegara juga menjelaskan pada skema KPR syariah ada akad syariah yang di gunakan. Misalnya Murabahah (jual beli), Musyarakah Mutanaqishah (kepemilikan bersama) IMBT (sewa), dan lain-lain. Selain itu juga Down Payment KPR Syariah lebih rendah khususnya jika menggunakan akad Musyarakah Mutanaqishah atau IMBT (sewa) untuk fasilitas pembiayaan kedua dan seterusnya (sesuai ketentuan LTV). Biaya KPR Syariah juga lebih murah dimana nasabah hanya dikenakan biaya administrasi sementara KPR Konvensional dikenakan biaya administrasi dan provisi yang akan berbeda sebesar Rp. 500 ribuan untuk pembelian rumah sederhana.

Menurut Direktur Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS) dan Staf Pengajar FEUI Yusuf Wibisono ada sejumlah upaya yang bisa dilakukan agar pembiayaan bank syariah bisa bersaing dengan bank konvensional. Dia mengatakan, bank syariah harus menekan cost of fund atau biaya dari penghimpunan dana dari masyarakat. Bank syariah cenderung kurang diminati masyarakat sehingga cost of fund tinggi atau dalam bahasa awamnya harus memberikan imbal hasil atau bunga kepada penabung lebih tinggi dari bank konvensional.

Ketika orang mau menabung dibank pasti karena ada iming-iming dan ini biasanya bunga tinggi. Ini yang kemudian membuat cost of fund bank syariah juga cenderung mahal. Belum lagi mahal investasi untuk infrastruktur dan teknologi yang akan membuat ROI menjadi makin panjang. Dengan kondisi tersebut maka bank-bank syariah kemudian cenderung mengandalkan nasabah-nasabah besar atau korporat dengan menawarkan bunga yang tinggi yang berujung cost of fund besar.

“Bank syariah akhirnya masih mengandalkan nasabah besar yaitu perusahaan untuk nabung di bank syariah dan ini dia minta bunganya gede. Nasabah-nasabah besar ini nggak mau dikasih bunga kecil, jadi ujung akhirnya cost of fund bank syariah mahal. Daya tawar perbankan syariah di para deposan, pemilik dana pihak ketiga masih lebih rendah daya tawarnya” ungkapnya.

Ia pun mengatakan, di sejumlah negara ada berbagai cara untuk meningkatkan daya saing bank syariah. Caranya, dengan intervensi pemerintah. Intervensi ini pun beragam wujudnya. “Misalnya bank BUMN dikonversi bank syariah, kemudian dana dana pemerintah atau dana-dana BUMN ditempatkan bank syariah dan inikan bentuk keberpihakan. Yang paling gampang misalnya dana haji. Misalnya, berapa persen dana haji yang ditempatkan di bank syariah” terangnya. Namun strategi ini akan berujung imbal hasil yang kecil dan dana haji tidak berkembang secara optimal yang pada akhirnya membuat biaya haji menjadi mahal.

Semakin besar bank syariah maka akan semakin bisa bersaing dengan bank konvensional karena akan menciptakan oligarki bank syariah dan kompetisi akan secara langsung tidak ada. Kalau ukurannya makin besar maka dia akan makin murah karena murah mahal tergantung size dan juga margin laba yang akan diambil juga tergantung ukuran. Semakin besar ukurannya semakin besar size suatu bank maka dia akan lebih mudah meraih untung karena tidak adanya persaingan dan bisa menawarkan pembiayaan yang lebih murah.